KITA SAMA.ID (9/12/2024) --- Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang bertujuan menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, rencana ini menimbulkan polemik dan kekhawatiran di tengah masyarakat, terutama terkait dampaknya pada daya beli dan biaya hidup.
PPN, yang merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa, dikenakan pada setiap tahap distribusi, dari produsen hingga konsumen akhir. Sebagai pajak tidak langsung, konsumen adalah pihak yang menanggung beban ini, sementara pelaku usaha wajib memungut dan menyetorkannya kepada negara. Dalam konteks ini, kenaikan tarif PPN kerap dipandang sebagai kebijakan yang dapat membebani masyarakat menengah ke bawah.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Anas Urbaningrum, menjadi salah satu tokoh yang vokal menentang kebijakan ini. Dalam cuitannya di media sosial X, Anas menantang fraksi-fraksi di DPR untuk mengajukan revisi UU HPP dan menolak kenaikan tarif PPN. "DPR tepat untuk usul inisiatif revisi. Saya survei kecil-kecilan di lapangan, angka 12 persen dirasakan akan berat. Ayo, Fraksi apa yg mau memulai?” tulisnya.
Anas menyebut kenaikan PPN ini tidak perlu dipaksakan jika kondisi ekonomi masyarakat belum memungkinkan. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan kemampuan rakyat dalam setiap kebijakan perpajakan. "Menunda atau merevisi UU atas pertimbangan kemampuan, hajat, dan kebaikan rakyat adalah pilihan yang bijaksana," ujar Anas.
Sebelumnya, tarif PPN sudah meningkat dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022. Kenaikan tersebut disertai dengan berbagai kritik, khususnya karena dampaknya yang dirasakan pada harga barang dan jasa. Kini, dengan rencana kenaikan menjadi 12 persen, kekhawatiran serupa kembali mencuat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi yang belum merata.
Meski demikian, tidak semua barang dikenakan tarif PPN. Barang kebutuhan pokok seperti beras, kedelai, jagung, daging, telur, dan sayur-sayuran dikecualikan dari PPN sesuai UU HPP Pasal 4A. Selain itu, jasa boga, makanan di restoran, serta transaksi emas batangan dan surat berharga juga bebas PPN. Kebijakan ini bertujuan melindungi kebutuhan dasar masyarakat.
Namun, kritik tetap bermunculan. Ekonom menilai kenaikan PPN akan memicu inflasi dan menekan daya beli masyarakat, terutama kelompok ekonomi rentan. Sementara itu, pelaku usaha khawatir terhadap potensi penurunan konsumsi yang berdampak pada kelangsungan bisnis mereka.
Kebijakan kenaikan PPN sejatinya dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara. Pemerintah beralasan langkah ini penting untuk membiayai berbagai program pembangunan, termasuk infrastruktur dan layanan publik. Namun, argumen ini masih menghadapi tantangan terkait implementasi di lapangan.
Bagi konsumen, kenaikan tarif PPN berarti harga barang dan jasa akan meningkat. Meskipun barang kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN, dampak domino pada sektor lain tetap tidak dapat dihindari. Di sisi lain, pelaku usaha harus menyesuaikan harga jual, yang berisiko mengurangi daya saing di pasar.
Anas Urbaningrum berharap seruannya mampu menggugah fraksi-fraksi di DPR untuk berpihak pada rakyat. Menurutnya, kebijakan perpajakan yang baik adalah yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan negara, tetapi juga mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. “Saatnya wakil rakyat membuktikan keberpihakannya kepada rakyat, bukan sekadar mengikuti regulasi tanpa mempertimbangkan dampaknya di lapangan,” tegasnya.
Isu kenaikan tarif PPN menjadi perdebatan penting di ruang publik. Apakah kebijakan ini akan tetap diberlakukan, atau justru mengalami revisi, menjadi pertanyaan yang masih menggantung. Yang jelas, semua pihak berharap keputusan akhir mencerminkan keadilan dan keberpihakan pada rakyat.